4/13/2014

Ada Cinta


Sudah hampir pukul empat sore, matahari perlahan bergerak menuju ufuk barat. Layar smartphone terjaga dihadapanku, sejak satu jam yang lalu. Sesekali pandanganku menyusuri cafe terbuka yang kini mulai ramai. 

Satu persatu dari mereka kuperhatikan, mungkin saja ada yang kukenal. Namun sepertinya hanya aku sendiri disini. Tidak, aku tidak sendiri, hari ini ada seseorang yang kutunggu, lebih tepatnya ingin kutemui. Tapi mengapa ia belum datang? Apa ia lupa kalau punya janji denganku? Atau terjebak macet? Jangan bodoh, di kota kecil seperti ini mana mungkin ada macet berjam-jam seperti Jakarta. 

Sebuah pesan masuk di smartphone-ku. Aku tersenyum setelah membaca pesan tersebut. Sepertinya ada kesalahpahaman antara aku dan ia. Ternyata ia tidak lupa. Aku menghela napas, setelah mengetahui mengapa dia belum juga datang.

Tujuh tahun lalu, tempat ini belum berdiri. Hanya ada sebuah warnet kecil yang kini telah berganti dengan cafe terbuka dengan fasilitas hotspot. Hanya kurang dari satu dekade semua telah berbeda. Tapi tidak dengan beberapa pengunjung yang datang. Sebagian mungkin remaja-remaja yang baru mengenal internet. Namun juga ada mereka yang pernah merasakan lambatnya koneksi hanya untuk mendownload file 1 MB.

“Hai!” sebuah suara terdengar disisiku.

Aku segera bereaksi dengan menoleh ke samping kanan. Wajah itu tetap sama meski sudah lama tidak bertemu. Ia tersenyum dan kubalas dengan mempersilahkan ia duduk. 

“Mana adikmu? Kok gak diajak kesini?” tanyaku setelah dia memesan minuman.

“Dirumah, tadi dari tempat les langsung ke rumah. Kalau diajak ntar malah ganggu?” timpalnya seketika.

Aku paham maksudnya mungkin ia ingin pertemuan kami tidak diganggu oleh siapapun. 

“Apa kabar? Lama gak ketemu” aku memulai basa-basi yang bukan sifatku ketika masih bersamanya.

Namun berbeda dengan sekarang. Waktu dan tempat telah menjadi penghalang untuk bertatap muka. Meski kami sering berhubungan dengan berkirim pesan atau menelepon. Tapi ada yang kurang sebelum aku bisa melihat gurat wajahnya ketika tersenyum.

“Lama gak ketemu?” balasnya. “Siapa yang setiap pagi telpon kalau bukan kamu. Dan siapa yang kasih pesan selamat tidur kalau bukan aku. Kok jadi canggung gini!” lanjutnya.

Mendengar jawaban darinya, aku segera tertawa kecil. Aku sodorkan smartphone-ku yang menampilkan foto-foto kami. 

“Sekarang jamannya smartphone sama tablet, jadi kamu jangan takut gak bisa hubungin aku tiap waktu. Meski gak bisa ketemu secara fisik,” tukasnya sambil berulang kali memandang foto-foto kami.

“Masih inget pertama kali kesini. Waktu itu tempat ini masih warnet, dan rame banget. Aku yang udah ngantri setengah jam lebih belum juga kebagian. Dan tiba-tiba aku lihat kamu juga disini,” ia mulai membuka percakapan untuk mencairkan suasana.

Aku tidak ingat kapan terakhir kali ia bercerita tentang masa lalu. Mungkin ada hal-hal yang lebih istimewa jika diungkap secara langsung tanpa perantara siapapun dan apapun. Ada nada memori yang akan mengetuk ingatan ketika mereka saling bertemu.

“Waktu itu kamu buka forum yang aku sendiri gak tahu. Maklum masih baru kenal internet. Ngetik aja aja masih gelagapan. Hehe,” ia tertawa dan suara itulah yang membuatku rindu kepadanya.

“Kalau gaptek kenapa berani ke warnet sendiri,” aku balas perkataannya. “Jangan-jangan sengaja mau ketemu aku nih<’ tambahku dengan tersenyum lebar.

“Siapa lagi yang mau ketemu kamu. Kan cuma kebetulan ada kamu disana. Terus kamu bilang ke aku kalau mau pake internet langsung aja. Lumayan gak harus nunggu lama lagi. Kamu titip uangnya ke aku biar sekalian ditambah,” ungkapnya.

“oh ya, aku inget, sebenarnya ada anak-anak sekolah kita juga, tapi yang aku kenal cuma kamu, trus keliatannya kamu dah bosen nunggu lama. Kamu tanya forum apa yang lagi aku buka. Aku jawab ‘indowebster’ atau idws." 

"Abis kamu asyik banget sama idws, kamu jelasin banyak tentang idws itu. Kata kamu, disini hampir semua yang dibutuhkan ada. Sampe sekarang aku masih inget kalau ada drama korea atau jepang terbaru aku cari info di idws," tambahnya. 

"Dulu internet masih hal baru, jadi apapun yang menarik pengunjung pasti traffic-nya tinggi. Idws bukan sekedar menarik pengunjung untuk sekedar browsing tapi mengajak berinteraksi langsung. Apa yang kamu butuhkan, atau sesuatu yang sulit didapatkan, semuanya ada di idws. Lebih dari sekedar forum untuk ngobrol atau diskusi," aku menimpalinya lebih lengkap.
***

“Ar, ada waktu pulang sekolah?" tanya seorang siswi yang seminggu ini dekat denganku.

Jangan salah sangka dulu, ‘dekat’ bukan berarti kami seperti sepasang kekasih. Mungkin lebih tepatnya teman dekat. Setiap malam ia selalu menghubungiku, membicarakan banyak hal. Dari pr-pr di sekolah sampai mimpi-mimpi yang diraihnya.

“Pulang sekolah!" aku sejenak berpikir, adakah hal lain yang lebih penting dibanding memenuhi permintaannya.

Susah sekali menolak apapun yang dimintanya. Aku pun tak keberatan. Namun ada hal yang lama tidak kami ungkit karena akan mengganggu perasaan diantara kami.

“Kayaknya gak ada. Aku gak banyak ekskul di sekolah jadi banyak waktu luang. Emang ada apa? Masih pengen dicariin lagu-lagu lagi,” timpalku menduga apa yang akan ia katakan.

Ia tertawa kecil sambil memberikan flashdisk-nya kepadaku. Seperti yang kuperkirakan, hanya aku ingin tahu siapa artis yang dia inginkan. 

“Aamu bisa bantu aku cari lagu-lagu-nya Natalie Imbruglia, bisa kan?” tukasnya cepat.

Aku jawab dengan senyuman kecil. “oke, gampang. Ntar aku cari,”
***

“Makasih ya udah bantuin aku selama ini,” katanya lirih.

Aku hampir tidak mengenali suara itu sejak setahun lalu kami memutuskan untuk tidak saling berhubungan.

Aku hanya tersenyum kecut. Ingin segera kutinggalkan tempat ini. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk berada disisinya. Apa yang harus kukatakan pada Tara, kalau aku diam-diam menemuinya. Hanya sekadar mendengarkan permasalahan yang sudah ribuan kali kudengar dari mulutnya.

Mudah-mudahan Tara mengerti. Ia dan Tara berbeda ketika tertimpa masalah. Ia selalu menampilkan wajah tegar. Sedangkan Tara, mengeluh tak henti-henti, sampai aku pusing bagaimana cara untuk menenangkannya. 

“Nih, kamu pake aja punyaku?" kusodorkan smartphone yang baru sebulan kubeli. 

“Kamu bisa pake sementara sampai dapat gantinya. Kalo hp ilang susah carinya. Pasti gak bakalan balik lagi. Yang penting kamunya gak apa-apa." 

“Kenapa kamu selalu bantu aku, Ar? Aku udah mengecewakan kamu. Udah bikin kamu marah dan benci. Tapi setiap kali aku minta bantuan, kamulah orang pertama yang datang kepadaku,” ucapnya sambil mengusap titik-titik air mata yang kembali jatuh di pipinya.

Aku tidak tega melihatnya. Kupalingkan pandangan, agar ia bisa leluasa mencurahkan apa yang ia rasakan.

“Jawab Ar! Ini untuk kesekian kali aku menanyakan hal yang sama. Sampai sekarang kamu selalu diam,” lanjutnya.

“Aku jawab dari sikap dan perilaku kepadamu. Itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Kamu terjemahkan sendiri dengan hatimu. Yang jelas apa pun yang terjadi kita tetap teman,” timpalku seketika.
***

Let’s the smart one decide what we do next!,” katanya ketika aku baru saja memarkikan motor.

“Kok aku yang jadi sasaran. Kamu sendiri yang ngajak kesini. katanya mau belajar buat UN. Mulai dari matematika dulu deh. Buat pemanasan,” sahutku.

“Matematika jadi pemansan buat kamu? Emang beda kalo dikepalanya ada tag ‘smart’ sama aku yang masih polos,” ejeknya ketika membuka lembaran soal-soal latihan.

Kubiarkan saja apa yang ia katakan. Sudah biasa kudengar. Kadang membuatku kesal, tapi justru itulah yang kusukai darinya. Sifat yang berkebalikan dariku. Ia sangat periang dan banyak bicara dan mungkin secara akademis dibawahku sedikit. Perbedaan inilah yang menguatkan kami.

“Semua sama aja. Tidak pintar bukan berarti bodoh. Hanya belum tahu dan paham. Di sekolah, kita dikumpulkan dalam satu kelas yang beragam. Permasalahannya, guru menyamaratakan cara mengajar,” 

“mungkin kamu benar. Aku bisa mengerjakan soal juga karna kamu. Coba kalau guru bersikap seperti teman, tanpa mengurangi kewibawaan. Mungkin gak banyak yang ketinggalan pelajaran."

“Apa gunanya smart kalo dipake sendiri. Friend lebih dari sekadar kamu mendapatkan nilai sempurna. Musuh manusia ada dua diri sendiri dan teman. Apalagi melihat sang teman lebih baik darinya.”

Ia tersenyum mendengar perkataanku. Mungkin sudah terbiasa dengan jawaban panjang lebar dari mulutku.
***

“Halo Ar! Belum tidur kan?" Suara itu kembali membuatku terjaga.

“ya belum, ada apa larut malem kok telpon?" tanyaku yang dipenuhi rasa kantuk.

"Maaf deh. Gini aku ada mau ngumpulin tugas lewat email. Tapi file-nya gede. Bisa bantu gak gimana cara ngirimnya?"

"Emang berapa ukuran file-nya",

"150an MB. Isinya rekaman wawancara, foto-foto, sama video dokumentasi. Kan di email ada batasan besar file yang bisa di-attach,"

"Ya udah pake file sharing aja, kamu upload terus tinggal copas link-nya. Temen kamu tinggal donlot. Gampang kan. Pake yang lokal aja, kayak indowebster, biar cepet pas upload/download. Kamu bikin akun dulu, free kok."
***

"Sekarang semuanya udah berubah. Dulu hotspot terbatas di tempat tertentu. Dan akses internet individu mahal. Bayangin dulu pasang internet, ribet bukan main. Belum bandwidth-nya yang lembat. Sekarang semua ada digenggaman tangan. Pernah pake modem tapi kurang praktis, paling enak yang integrated langsung dengan smartphone."

Ia minum cappucino pesanannya. Duduk kami menjadi lebih dekat. Bahkan sangat dekat. Aku bisa menhirup parfum khasnya. Tidak pernah berubah, itulah yang terpikir dikepalaku.

“Karena kamu ada disini, nih ada hadiah dari aku.” Katanya sambil memberkan kotak putih kepadaku.

Kuraih kotak itu. Dari bentuknya aku menduga apa isi didalamnya.

"Boleh dibuka," pintaku.

Ia mengangguk. "Buka aja, bukan hadiah spesial kok." 

Benda yang kuberikan empat tahun lalu, waktu dia kehilangan ponselnya. Lebih tepat jika kupinjamkan. Dari kondisinya masih bagus dan terawat. Pasti tidak pernah dipakai.

“Aaktu aku mau ngembaliin, kamu udah berangkat ke Jakarta. Jadi aku simpan sampai suatu saat kita ketemu lagi. Seperti sekarang,” tukasnya 

Tujuh tahun bukan hal yang singkat. Diluar sana perubahan melaju sangat cepat, namun ada ruang yang tetap sama. Ruang ketika aku membalas senyumnya. 

Ia mengeluarkan gadget-nya. Aku sedikit terkejut, ternyata miliknya sama dengan apa yang kugenggam. Tuhan tidak bermain dadu untuk menentukan kehidupan manusia. Aku memang bukan orang pertama yang masuk ke hatinya, tapi yakdir masih berpihak ditanganku.

Andromax kami tergeletak di meja. Kubiarkan tangannya menggenggam jemariku. Pucuk senja mulai bergeliat. Ada rasa yang kembali muncul. Dan ingin kuungkapkan jika aku cinta padamu.

===============================================

Untuk INDOWEBSTER selamat ulang tahun ke-7, berubah tapi tetap menjaga jatidiri
Untuk SMARTFREN, ada banyak cinta yang tersenyum karena koneksi cepatmu

No comments:

Post a Comment